Senin, 23 Maret 2015

Cerpen: KEHILANGAN MU

Karya        : Eva Safitri Yuliana

Nama ku adalah Ana. Aku berusia 15 tahun. Saat ini, aku duduk di kelas 9A SMP NEGERI 1 TAYU, kab. Pati, Provinsi Jawa Tengah. Aku adalah anak ke-3 dari 3 bersaudara. Aku tinggal bersama kedua orang tua ku dan kedua kakak perempuan ku. O’iya, kenalkan nama kakak ku yang pertama adalah Ima. Dan yang ke-2 adalah Ifa.
Pada suatu hari, Ibu ku merasakan nyeri di dalam perut atau perut bagian bawah. Lalu tetangga ku membawa ibu ku membawa ibu ku ke RSK Tayu. Kata dokter, Ibu ku hanya sakit mag. Tapi, pada suatu hari, Ibu ku mendadak sakit lagi. Kakak ku menganjurkan agar ibu ku dibawa ke RS.SOEWONDO Pati.
Akhirnya setelah di USG, Ibu ku di nyatakan sakit kista. Kista adalah tumor berupa kantong yang berisi cairang. Dokter menyarankan agar ibu ku segera di operasi. Karena, menurut hasil USG, terdapat benjolan besar di bagian bawah perut ibu ku. Besarnya kira-kira seperti buah Jeruk Bali.
Waktu itu, Bapak ku sedang merantau ke Kalimantan. Saudara ku tak berani memberitahukan hal ini kepada Bapak ku. Merka tidak ingin Bapak  ku gelisah. Saudara ku hanya menelfon Bapak ku dan mengatakan kalau Bapak ku secepatnya harus pulang. Karena Ibu sakit. Bapak ku pun segera pulang dan meninggalkan pekerjaannya.

Pada suatu hari, Ibu ku merasakan kesakitan lagi. Lalu keluarga ku pun membawa ke RS.Soewondo. Aku pun ikut mengantar. Sesampainya di rumah sakit, Ibu ku masuk ke ruang UGD. Aku terduduk lemas di depan ruang UGD. Berjuta perasaan buruk seolah merasuki hati dan fikiran ku ketika seorang suster menutup pintu ruangan tersebut. Di dalam penantian ku, hanya permohonan dan doa yang bisa ku panjatkan kepada Allah SWT untuk kesembuhan ibu ku
“Ya Allah sembuhkanlah ibu ku. Angkatlah semua penyakitnya” begitulah kiranya doa yang aku panjatkan.
15 menit telah berlalu, dari kejauhan nampak seorang dokter yang berjalan menghampiri Bapak ku.
“Apa benar anda keluarganya?” tanya dokter kepada Bapak ku
“Ya benar. Saya suaminya. Bagaimana keadaan istri saya, dok?”ujar Bapak ku penuh tanya.
“Bagaimana keadaan ibu saya, dok?” unjar ku ikut bertanya
“Keadaan ibu anda sudah semakin parah. Sebaiknya segera di lakukan operasi.” jelas dokter.
Dua jam telah berlalu. Bapak menyuruh ku untuk pulang. Jadinya aku tidak bisa menemani ibu operasi. Terpaksa aku menginap di rumah tetangga ku yang rumahnya sebelah rumah ku. Di dalam rumah itu, aku terdiam sejenak. Dalam lamunan ku, aku kembali teringat saat-saat dimana ibu ku masih sehat dan segar. Saat masih bisa menemani ku, memanjakan ku, dan mengajarkan ku arti kehidupan. Bagi ku, beliau sangat menyenangkan. Sosok seorang ibu sekaligus sahabat yang mungkin tidak semua anak dapat merasakannya. Sungguh, betapa beruntungnya aku. Tak lama, hati ku pun luluh. Aku benar-benar tak tega melihat kedua orang tua ku bekerja keras, membanting tulang siang malam. Serta rela melakukan apa pun demi aku dan kakak ku. Lama ku terdiam, tiba-tiba lamunan ku harus berakhir ketika Dama masuk kamar. Lalu mengajak ku makan. Jujur saja, saat ini aku tidak bisa makan. Bagaimana mungkin aku bisa makan sementara ibu ku sedang berada di ruang operasi. Berjuang melawan penyakitnya. Tapi, senggaknya aku harus makan. Aku tidak mau sakit. Aku tidak ingin ibu menangis.
Malam pun tiba. Bapak ku menelfon ku, untuk memberitahukan ku kalau ibu ku akan memasuki ruang operasi. Dalam hati, aku pun berdoa “Ya Allah, aku tau ibu ku adalah orang yang kuat. Mudahkan lah operasi ibu ku ya Allah. Aku ingin beliau cepat semubuh. amin”
Tapi Allah berkehandak lain. Pukul 22.55 ibu ku menghembuskan nafas terakhirnya. Tak dapat di pungkiri lagi, ternyata Allah lebih sayang ibu ku dari pada ku. Allah tidak ingin ibu terus kesakitan karena penyakitnya. Pukul 01.00 dini hari, ibu ku di bawa pulang ke rumah
Semetara di rumah Dama, aku sangat gelisah. Memang mata ku terpejam. Menandakan aku sudah tidur. Tapi, dalam hati ku, aku sangat gelisah. Aku sendiri tidak mengerti. Mengapa aku segelisah ini? seakan-akan ada sesuatu yang terjadi sama ibu ku. Ibunya Dama pun berkata kepada Dama
“Ma, kenapa Ana tidurnya sangat gelisah?”
Seusai pertanyaan itu, aku mendengar suara pintu rumah Dama di ketuk seseorang. Ibunya Dama pun segera bangun dan melihat siapa yang mengetuk pintu itu. Ketika pintu di buka, yang ada hanya suara isak tangis mbak Ima. Aku pun keluar dari kamar. Lalu kakak ku memeluk ku dan berkata
“Ana yang sabar ya....Ana harus kuat”
“Ada apa mbak?”
“Ibu sudah di panggil sang Maha Kuasa.”
Sesaat hati ku langsung saja shock berat. Dan aku menangis sejadi jadinya. Rasanya ingin aku marah pada Allah. Tapi, aku tau ini sudah takdir Allah. Dan aku harus menerimanya dengan ikhlas. Karena, di dunia ini tidak ada yang kekal. Semuanya akan kembali kepada Allah.
Aku pun pulang ke rumah ku dengan berbekal kekuatan. Kekuatan tuk menerima semuanya. Ketika aku melangkahkan kaki ku di depan pintu. Yang aku lihat hanyalah seseorang yang di selimuti kain dan tertidur di atas balai tempat tidur. Aku tak kuasa membendung tangis ini. Ku buka tutup kain iu, dan betapa terkejutnya aku. Karena melihat seseorang itu yang tak lain dan tak bukan adalah ibu ku. Orang yang telah mengandung ku selama 9 bulan, melahirkan ku dengan nyawa taruhannya, merawat dan membesarkan ku dengan penuh kasih sayangnya. Lalu ku tutup kembali kain itu. Aku diajak kakak ku masuk kamar. Lalu aku pingsan. Adzan Shubuh membangunkan ku. Aku pun kembali keluar kamar. Ku lihat banyak orang di rumah ku membaca yasin. Tangis ku semakin menjadi jadi. Tapi aku sadar, seberapa lama aku menangis, itu tidak akan mengembalikan ibu ku. Aku pun akhirnya ikut mengaji untuk ibu ku.
Pemakaman seharusnya di lakukan pukul 10.00. Karena menunggu nenek ku dan saudara ibu ku yang dari Surabaya, jadi pemakaman di lakukan pukul 10.15. Ketika rombongan dari Surabaya sampai rumah ku, dan memasuki rumah ku. Mereka pun menangis seperti ku. Apalagi bude ku juga menangis tak kalah kencangnya dari ku. Sedangkan nenek ku, Ibu dari Alm.ibu ku hanya terdiam tak berdaya sambil melihat tubuh ibu ku yang sedang terbaring.
Pemandian Jenazah pun segera di lakukan. Aku tidak ikut memandikan. Karena, selain aku takut, aku juga tidak diperbolehkan. Karena aku masih terus saja menangis.
Pukul 10.15, ibu ku di makamkan. Aku ikut mengantarkan ibu ku, sebagai penghormatan terakhir, Aku masih tak percaya jika ibu ku hari ini sudah berpulang ke Rahmatullah.
Setiap ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Begitu pula perpisahan ku dengan ibu ku. Tapi, aku harus tetap bersemangat.Tak ada gunanya aku menangisi kepergian ibu ku terus menerus. Karena ibu ku tidak butuh tangisan. Ibu ku hanya butuh doa dari anak-anaknya.. Aku hanya ingin mengabulkan keinginan ibu ku. Yaitu menjadi anak Sholekhah. Anak yang selalu mendoakan kedua prang tuanya, selalu menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya.
Semoga, Ibu ku tenang dan bahagia di sisi-Nya.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

sumpah na, aku ngasek nangis :'(

Posting Komentar