Karya :
Eva Safitri Yuliana
Nama ku adalah Ana. Aku
berusia 15 tahun. Saat ini, aku duduk di kelas 9A SMP NEGERI 1 TAYU, kab. Pati,
Provinsi Jawa Tengah. Aku adalah anak ke-3 dari 3
bersaudara. Aku tinggal bersama kedua orang tua ku dan kedua kakak perempuan
ku. O’iya, kenalkan nama kakak ku yang pertama adalah Ima. Dan yang ke-2 adalah
Ifa.
Pada suatu hari, Ibu ku
merasakan nyeri di dalam perut atau perut bagian bawah. Lalu tetangga ku
membawa ibu ku membawa ibu ku ke RSK Tayu. Kata dokter, Ibu ku hanya sakit mag.
Tapi, pada suatu hari, Ibu ku mendadak sakit lagi. Kakak ku menganjurkan agar
ibu ku dibawa ke RS.SOEWONDO Pati.
Akhirnya setelah di USG,
Ibu ku di nyatakan sakit kista. Kista adalah tumor berupa kantong yang berisi
cairang. Dokter menyarankan agar ibu ku segera di operasi. Karena, menurut
hasil USG, terdapat benjolan besar di bagian bawah perut ibu ku. Besarnya
kira-kira seperti buah Jeruk Bali.
Waktu itu, Bapak ku sedang
merantau ke Kalimantan. Saudara ku tak berani memberitahukan hal ini kepada
Bapak ku. Merka tidak ingin Bapak ku
gelisah. Saudara ku hanya menelfon Bapak ku dan mengatakan kalau Bapak ku
secepatnya harus pulang. Karena Ibu sakit. Bapak ku pun segera pulang dan
meninggalkan pekerjaannya.
Pada suatu hari, Ibu ku merasakan kesakitan lagi. Lalu keluarga ku pun membawa ke RS.Soewondo. Aku pun ikut mengantar. Sesampainya di rumah sakit, Ibu ku masuk ke ruang UGD. Aku terduduk lemas di depan ruang UGD. Berjuta perasaan buruk seolah merasuki hati dan fikiran ku ketika seorang suster menutup pintu ruangan tersebut. Di dalam penantian ku, hanya permohonan dan doa yang bisa ku panjatkan kepada Allah SWT untuk kesembuhan ibu ku
“Ya Allah sembuhkanlah ibu ku. Angkatlah semua
penyakitnya” begitulah kiranya doa yang aku panjatkan.
15 menit telah berlalu, dari kejauhan nampak
seorang dokter yang berjalan menghampiri Bapak ku.
“Apa benar anda keluarganya?” tanya dokter
kepada Bapak ku
“Ya benar. Saya suaminya. Bagaimana keadaan
istri saya, dok?”ujar Bapak ku penuh tanya.
“Bagaimana keadaan ibu saya, dok?” unjar ku
ikut bertanya
“Keadaan ibu anda sudah semakin parah.
Sebaiknya segera di lakukan operasi.” jelas dokter.
Dua jam telah berlalu.
Bapak menyuruh ku untuk pulang. Jadinya aku tidak bisa menemani ibu operasi.
Terpaksa aku menginap di rumah tetangga ku yang rumahnya sebelah rumah ku. Di
dalam rumah itu, aku terdiam sejenak. Dalam lamunan ku, aku kembali teringat
saat-saat dimana ibu ku masih sehat dan segar. Saat masih bisa menemani ku,
memanjakan ku, dan mengajarkan ku arti kehidupan. Bagi ku, beliau sangat
menyenangkan. Sosok seorang ibu sekaligus sahabat yang mungkin tidak semua anak
dapat merasakannya. Sungguh, betapa beruntungnya aku. Tak lama, hati ku pun
luluh. Aku benar-benar tak tega melihat kedua orang tua ku bekerja keras,
membanting tulang siang malam. Serta rela melakukan apa pun demi aku dan kakak
ku. Lama ku terdiam, tiba-tiba lamunan ku harus berakhir ketika Dama masuk
kamar. Lalu mengajak ku makan. Jujur saja, saat ini aku tidak bisa makan.
Bagaimana mungkin aku bisa makan sementara ibu ku sedang berada di ruang
operasi. Berjuang melawan penyakitnya. Tapi, senggaknya aku harus makan. Aku
tidak mau sakit. Aku tidak ingin ibu menangis.
Malam pun tiba. Bapak ku
menelfon ku, untuk memberitahukan ku kalau ibu ku akan memasuki ruang operasi.
Dalam hati, aku pun berdoa “Ya Allah, aku tau ibu ku adalah orang yang kuat.
Mudahkan lah operasi ibu ku ya Allah. Aku ingin beliau cepat semubuh. amin”
Tapi Allah berkehandak
lain. Pukul 22.55 ibu ku menghembuskan nafas terakhirnya. Tak dapat di pungkiri
lagi, ternyata Allah lebih sayang ibu ku dari pada ku. Allah tidak ingin ibu
terus kesakitan karena penyakitnya. Pukul 01.00 dini hari, ibu ku di bawa
pulang ke rumah
Semetara di rumah Dama,
aku sangat gelisah. Memang mata ku terpejam. Menandakan aku sudah tidur. Tapi,
dalam hati ku, aku sangat gelisah. Aku sendiri tidak mengerti. Mengapa aku
segelisah ini? seakan-akan ada sesuatu yang terjadi sama ibu ku. Ibunya Dama
pun berkata kepada Dama
“Ma, kenapa Ana tidurnya sangat gelisah?”
Seusai pertanyaan itu, aku mendengar suara
pintu rumah Dama di ketuk seseorang. Ibunya Dama pun segera bangun dan melihat
siapa yang mengetuk pintu itu. Ketika pintu di buka, yang ada hanya suara isak
tangis mbak Ima. Aku pun keluar dari kamar. Lalu kakak ku memeluk ku dan
berkata
“Ana yang sabar ya....Ana harus kuat”
“Ada apa mbak?”
“Ibu sudah di panggil sang Maha Kuasa.”
Sesaat hati ku langsung saja shock berat. Dan
aku menangis sejadi jadinya. Rasanya ingin aku marah pada Allah. Tapi, aku tau
ini sudah takdir Allah. Dan aku harus menerimanya dengan ikhlas. Karena, di
dunia ini tidak ada yang kekal. Semuanya akan kembali kepada Allah.
Aku pun pulang ke rumah ku
dengan berbekal kekuatan. Kekuatan tuk menerima semuanya. Ketika aku
melangkahkan kaki ku di depan pintu. Yang aku lihat hanyalah seseorang yang di
selimuti kain dan tertidur di atas balai tempat tidur. Aku tak kuasa membendung
tangis ini. Ku buka tutup kain iu, dan betapa terkejutnya aku. Karena melihat
seseorang itu yang tak lain dan tak bukan adalah ibu ku. Orang yang telah
mengandung ku selama 9 bulan, melahirkan ku dengan nyawa taruhannya, merawat
dan membesarkan ku dengan penuh kasih sayangnya. Lalu ku tutup kembali kain itu.
Aku diajak kakak ku masuk kamar. Lalu aku pingsan. Adzan Shubuh membangunkan
ku. Aku pun kembali keluar kamar. Ku lihat banyak orang di rumah ku membaca
yasin. Tangis ku semakin menjadi jadi. Tapi aku sadar, seberapa lama aku
menangis, itu tidak akan mengembalikan ibu ku. Aku pun akhirnya ikut mengaji
untuk ibu ku.
Pemakaman seharusnya di
lakukan pukul 10.00. Karena menunggu nenek ku dan saudara ibu ku yang dari
Surabaya, jadi pemakaman di lakukan pukul 10.15. Ketika rombongan dari Surabaya
sampai rumah ku, dan memasuki rumah ku. Mereka pun menangis seperti ku. Apalagi
bude ku juga menangis tak kalah kencangnya dari ku. Sedangkan nenek ku, Ibu
dari Alm.ibu ku hanya terdiam tak berdaya sambil melihat tubuh ibu ku yang
sedang terbaring.
Pemandian Jenazah pun
segera di lakukan. Aku tidak ikut memandikan. Karena, selain aku takut, aku
juga tidak diperbolehkan. Karena aku masih terus saja menangis.
Pukul 10.15, ibu ku di
makamkan. Aku ikut mengantarkan ibu ku, sebagai penghormatan terakhir, Aku
masih tak percaya jika ibu ku hari ini sudah berpulang ke Rahmatullah.
Setiap ada pertemuan,
pasti ada perpisahan. Begitu pula perpisahan ku dengan ibu ku. Tapi, aku harus
tetap bersemangat.Tak ada gunanya aku menangisi kepergian ibu ku terus menerus.
Karena ibu ku tidak butuh tangisan. Ibu ku hanya butuh doa dari anak-anaknya..
Aku hanya ingin mengabulkan keinginan ibu ku. Yaitu menjadi anak Sholekhah.
Anak yang selalu mendoakan kedua prang tuanya, selalu menjalankan perintah
Allah dan meninggalkan larangan-Nya.
Semoga, Ibu ku tenang dan
bahagia di sisi-Nya.
1 komentar:
sumpah na, aku ngasek nangis :'(
Posting Komentar